MENJELANG NATAL. Dalam liturgi Natal sering diadakan semacam drama/tablo natal yang memerankankisah kelahiran Yesus, apakah itu termasuk dalam ritual resmi liturgi Natalatau hanya sekedar tambahan? Kapan/di bagian mana dalam liturgi selayaknyapementasan drama/tablo itu diadakan? Apakah boleh menggantikan bacaan Injiltentang kelahiran ...Yesus? Mari sharing.
PENCERAHAN dari Pastor Yohanes Samiran SCJ
Kalau tidak salah, topik ini pernah dibahas tahun lalu (atau saya ikut diskusi di forum lain??? hehehe). Pedoman umum yang baik untuk pendidikan menyangkut tata liturgi yang benar dan sekaligus juga keterbukaan untuk kreativitas ekspresi iman:
a. Penting sekali kita juga belajar liturgi yang baik dan benar. Nah, sebenarnya amat tidak dianjurkan mengubah (menambahkan atau mengurangi) bagian-bagian liturgi baku Ekaristi yang ada. Maka sedapat mungkin liturgi ekaristi dirayakan sebagai satu kesatuan lengkap tanpa dicampur adukkan dengan kepentingan tambahan, yang tidak diijinkan. Maksud kata diijinkan di sini adalah misalnya memang ada liturgi ekaristi tahbisan, perkawinan, dll – bagian ini sudah ada pedoman baku dan urut-urutan yang direstui dan dibakukan.
b. Maka sebaiknya kalau mau ada ekspresi atau kreativitas lain untuk mendukung peristiwa yang dirayakan hari itu, misalnya Natal, Jumat Agung dan mau ada tablo atau drama, sebaiknya ditempatkan :
(a) sebelum Misa; atau biasanya bukan pilihan menarik
(b) sesudah Misa. Mengapa tidak boleh menggantikan Injil? Injil harus tetap diwartakan; sementara tablo atau drama seringkali merupakan kombinasi dan plus tafsiran atas peristiwa kelahiran Yesus ini. Mengapa di luar Misa? Sesuai dengan maksudnya untuk membantu umat agar bisa mempersiapkan diri dengan baik untuk merayakan, merasakan, dan meresapkan makna Natal atau Jumat Agung yang dirayakan. Dan lagi supaya selama perayaan Ekaristi kita fokus kepada perayaan Penebusan Kristus yang diperbaharui di atas altar, dan bukan kepada yang lain: anak-anak pemain drama, panggung, dll. Kalau maksudnya untuk membantu anak-anak “merayakan Natal” – lebih baik buatlah acara (semacam resepsi Natalan – sesudah Misa) dan di situlah dipentaskan drama Natal itu.
c. Juga akibatnya kalau ditempatkan di dalam kesatuan liturgi, misalnya setelah Injil atau sebelum Injil – akan bisa memecahkan fokus dan kekhidmatan liturgi dan perhatian kita. Mau tidak mau kalau ada pementasan seolah kita pause sebentar, mengundang komentar dan penilaian langsung atau tidak langsung. Juga perhatikan reaksi anak-anak lain saat melihat teman mereka pentas. Apalagi kalau ada yang lucu (bukan melucu, tetapi karena keluguannya, misalnya anak kecil yang jadi malaikat atau gembala tampil dengan ragu entah selalu melihat pelatih, teman dll ---- sehingga umat seolah sejenak “dikeluarkan” atau digeserkan dari liturgi ekaristi dan diajak menikmati “dunia panggung” itu.
d. Drama atau tablo tidak dipentaskan di atas altar, tetapi di bawah altar, misalnya di antara altar dan bangku umat, kalau tetap menggunakan gereja (walau sebenarnya tidak dianjurkan) untuk pementasan ini. Persoalannya biasanya orang (pelatih, dan yang main) tidak puas karena tidak begitu terlihat oleh semua umat. Maunya pentasnya menjadi pusat dan diperhatikan oleh semua umat lain.
Itulah prinsip umum sekitar dramatisasi yang biasa muncul dalam perayaan kita, melengkapi komentar atau tanggapan dari teman-teman lain.
SalamYohanes Samiran SCJ
No comments:
Post a Comment